Insane

APIEKTOP

Kumpulan Ilmu Pengetahuan Dan Hiburan

MENU-ARTIKEL

ABU NAWASDAN RAJA
lembu-abu-nawas Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati. Kemudian Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya. Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri itu. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati. “Dengan demikian memang betul berita-berta yang aku dengar tentang menteri ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.” “Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yang sedang menggiring seekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu. “Lembu ini tidak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.” “Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.” “Betul juga kata Tuan,” jawab si pemuda setelah berpikir sejenak. “Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.” “Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya. “Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram. “Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi. “Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yang akan membeli lembumu, melainkan menteri yang zalim itu. Oleh karena itu berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab si pemuda. “Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.” “Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.” “Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera membelinya. “Lima puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si menteri. “Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si pemuda. “Baik, pasti kebayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas binatang itu, namun karena harga telah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya. “Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.” Keduanya pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata si pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan lembuku.” “Apa yang mesti kubayar, dan apa yang harus kukembalikan,” kilah si menteri. “Cuma tali yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.” “Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.” Si menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang kerumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang, uang melayang. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,” keluhnya.“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya. “Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.” “Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.” Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda. “Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu. Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya. “Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya. “Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis. “Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.” “Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu. “Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya. “Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri. “Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.” “Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk. “Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.” Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya. Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda. Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah. Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya. “Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?” Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit. Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati. “Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas. “Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.” Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk. “Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini? “Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.” “Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang. “Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.” Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah. Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya. Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu. Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara. “Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.” Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas. “Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.” “Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,” “Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.” Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”. Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul. Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah. Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat. Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka. “Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki. “Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki. “Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?” “Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.” “Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah. “Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.” Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah. Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim. Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”


Bag_2

“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya. “Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.” “Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.” Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda. “Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu. Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya. “Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya. “Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis. “Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.” “Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu. “Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya. “Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri. “Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.” “Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk. “Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.” Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya. Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda. Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah. Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya. “Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?” Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit. Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati. “Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas. “Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.” Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk. “Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini? “Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.” “Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang. “Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.” Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah. Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya. Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu. Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara. “Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.” Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas. “Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.” “Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,” “Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.” Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”. Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul. Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah. Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat. Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka. “Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki. “Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki. “Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?” “Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.” “Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah. “Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah. Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim. Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.” Referensi: Alkisah Nomor 17 / 16 – 29 Agt 2004CARA ABU NAWAS MERAYU TUHAN
Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan. Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama. “Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas. “Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar. “Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas. Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya. “Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas. “Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi. “Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya. Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya. “Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas. “Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi. “Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi. *** Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti. Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas. “Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid. “Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan. “Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi. “Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas. “Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi. “Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum. Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi. “Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya. “Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu. “Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi. “Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas. “Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias. “Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar). Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.PUKULAN YANG MENJADI DINAR
Pada suatu hari Abu Nawas menghadap ke Istana. Ia pun bercakap-cakap dengan Sultan dengan riang gembira. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran di benak Sultan. “Bukankah Ibu si Abu Nawas ini sudah meninggal? Aku ingin mencoba kepandaiannya sekali lagi, Aku ingin menyuruh dia membawa ibunya ke istanaku ini. Kalau berhasil akan aku beri hadiah seratus dinar. “Hai, Abu Nawas,” titah Sultan, “Besok bawalah Ibumu ke istanaku, nanti aku beri engkau hadiah seratus dinar.” Abu Nawas kaget. “Bukankah beliau sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal, tapi mengapa beliau memerintahkan itu,” pikirnya. Namun dasar Abu Nawas, ia menyanggupi perintah itu. “Baiklah, tuanku, esok pagi hamba akan bawa ibu hamba menghadap kemari,” jawabnya mantap. Setelah itu ia pun mohon diri. Sesampai di rumah, setelah makan dan minum, ia pergi lagi. Dijelajahinya sudut-sudut negeri itu, menyusuri jalan, lorong dan kampung, untuk mencari seorang perempuan tua yang akan dijadikan sebagai ibu angkat. Rupanya tidak mudah menemukan sesosok perempuan tua. Setelah memeras tenaga mengayun langkah kesana kemari hingga jontor, barulah ia menemukan yang dicari. Perempuan itu adalah seorang pedagang kue apem di pinggir jalan yang sedang memasak kue-kue dagangannya. Dihampirinya perempuan tua itu. “Hai, ibu, bersediakah engkau kujadikan ibu angkat?” kata Abu Nawas. “Kenapa engkau berkata demikian?” tanya si Ibu tua itu. “Apa alasannya?” Maka diceritakanlah perihal dirinya yang mendapat perintah dari Sultan agar membawa ibunya ke istana. Padahal ibunya sudah meninggal. Juga dijanjikan akan membagi dua hadiah dari Sultan yang akan diterimanya. “Uang itu dapat ibu simpan untuk bekal meninggal bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan,” kata Abu Nawas. “Baiklah kata si Ibu tua itu, aku sanggup memenuhi permintaanmu itu.” Setelah itu Abu Nawas menyerahkan sebuah tasbih dengan pesan agar terus menghitung biji tasbih itu meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab pertanyaan yang diajukan. Sebelum meninggalkan perempuan itu, Abu Nawas wanti-wanti agar rencana ini tidak sampai gagal. Untuk itu ia akan menggendong perempuan tua itu ke istana. “Baiklah anakku, moga-moga Tuhan memberkatimu,” Kata si ibu tua. “Dan terutama kepada Ibuku…” Keesokan harinya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah sampai di istana lalu memberikan salam kepada Sultan. “Waalaikumsalam, Abu Nawas,” jawab Sultan. Setelah itu Sultan memandang Abu Nawas. Bukan main terkejutnya Sultan melihat Abu Nawas menggendong seorang perempuan tua. “Siapa yang kamu gendong itu?” tanya Sultan. “Diakah ibumu?” tapi kenapa siang begini kamu baru sampai?” “Benar, tuanku, inilah ibu Patik, beliau sudah tua dan kakinya lemah dan tidak mampu berjalan kemari, padahal rumahnya sangat jauh. Itu sebabnya patik gendong ibu kemari,” kata Abu Nawas sambil mendudukkan ibu tua di hadapan Sultan. Setelah duduk ibu tua itu pun memegang tasbih dan segera menghitung biji tasbih tanpa henti meski Sultan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Tentu saja Sultan tersinggung, “Ibumu sangat tidak sopan, lagi pula apa yang dikatakannya itu sampai tidak mau berhenti?” Sembah Abu Nawas, “Ya tuanku Syah Alam, suami ibu patik ini 99 banyaknya. Beliau sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan tidak akan berhenti sebelum selesai semuanya.” Seratus Dinas Demi mendengar ucapan Abu Nawas tadi perempuan tua itu pun melempar tasbih dan bersembah datang kepada Sultan. “Ya tuanku Syah Alam,” katanya, “Adapun patik ini dari muda sampai tua begini hanya seorang suami hamba. Apabila sekarang ini berada di hadapan tuanku, itu adalah atas permintaan Abu Nawas. Dia berpesan agar patik menghitung-hitung biji tasbih dan tidak menjawab pertanyaan tuanku. Nanti Abu Nawas akan membagi dua hadiah yang akan diterimanya dari tuanku.” Begitu mendengar ucapan perempuan tua itu Sultan tertawa dan menyuruh memukul Abu Nawas seratus kali. Ketika perintah itu akan dilaksanakan, Abu Nawas minta izin untuk dipertemukan dengan Sultan. “Ya tuanku, hukuman apakah yang akan tuanku jatuhkan kepada hamba ini?” “Karena engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu kemari, akupun berjanji akan memberi hadiah uang seratus dinar, tapi karena kamu tidak bisa memenuhi janjimu, dapatlah engkau seratus kali pukulanku,” kata Sultan. “Ya tuanku, Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Patik berjanji dengan perempuan tua ini akan membagi dua hadiah yang akan tuanku berikan kepada hamba, tetapi karena sekarang hamba mendapat dera, hadiah itu juga harus dibagi dua, karena yang bersalah dua orang, patik terimalah hukuman itu, tetapi lima puluh seorang dengan perempuan tua ini.” Dalam hati Sultan bergumam, “Jangankan dipukul lima puluh kali, dipukul sekali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri.” Setelah itu Sultan memberi lima puluh dinar kepada perempuan tua itu sambil berpesan agar tidak cepat percaya kepada Abu Nawas bila lain kali menemuinya. Dengan suka cita diterimanya hadiah itu dan dipandangnya Abu Nawas. “Ya tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat anugerah dari paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu saja.” “Hmm…ya, terimalah pula bagianmu,” ujar baginda sambil tersenyum, “Ini…” Semua orang tertawa dalam hati. Setelah Abu Nawas bermohon diri pulang ke rumah. Demikian pula perempuan tua itu dan semua yang hadir di Balairung, dengan perasaan masing-masing. Sumber kisah: Alkisah Nomor 05 / 1-14 Maret 2004